Di Persimpangan Global: Stimulus Ekonomi dan Masa Depan Logistik Indonesia
Oleh :
Prof. Dr. Ir. Agus Purnomo, M.T.,
CMILT.
(Guru Besar Supply Chain Management - Master of Logistics Management
Department – Universitas Logistik Dan Bisnis Intenasional – ULBI)
Indonesia tengah berada di persimpangan strategis dalam menghadapi dinamika ekonomi global yang makin tak menentu. Dalam menghadapi tekanan eksternal seperti tren proteksionisme, volatilitas supply chain global, dan ancaman tarif impor baru dari Amerika Serikat, ketahanan logistik dan daya saing industri nasional menjadi sorotan utama.
Seperti yang diungkapkan Dr. Michael Porter, profesor dari Harvard
Business School, “Supply chains are the arteries of modern economies;
disrupting them means risking economic vitality.” Pernyataan ini menegaskan bahwa keberlangsungan ekonomi suatu negara sangat bergantung
pada ketangguhan supply chainnya—terutama bagi negara seperti Indonesia yang
bercita-cita menjadi pusat logistik kawasan.
Pada 5 Juni 2025,
pemerintah resmi meluncurkan enam paket stimulus ekonomi yang bertujuan menjaga
daya beli masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi triwulan II 2025 agar tetap
berada di kisaran lima persen. Stimulus tersebut mencakup diskon tarif
transportasi publik, subsidi listrik untuk rumah tangga, bantuan sosial, hingga
insentif bagi pekerja. Namun, dari sudut pandang supply chain dan efisiensi
logistik, muncul pertanyaan kritis: sejauh mana
stimulus ini dapat memperkuat struktur logistik nasional dan menopang daya
saing industri?
Beban Lama
yang Belum Usai
Sektor logistik
Indonesia masih dibebani oleh biaya distribusi yang tinggi dan struktur supply
chain yang belum efisien. Biaya logistik nasional masih berkisar 14,29 persen
dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di atas rata-rata negara-negara tetangga
seperti Singapura dan Malaysia yang hanya 7–10 persen. Hal ini turut menjadi
penghambat dalam menciptakan produk berdaya saing tinggi di pasar global.
Dari enam paket
stimulus tersebut, hanya satu yang memiliki dampak langsung terhadap sektor
logistik, yakni diskon tarif tol sebesar 20 persen selama periode libur
sekolah. Diskon ini berpotensi meringankan beban biaya distribusi melalui jalur
darat, terutama untuk barang konsumsi domestik. Namun, tiga jenis diskon
transportasi lainnya—tiket kereta, pesawat, dan kapal laut—hanya berlaku untuk
penumpang, bukan angkutan barang. Potensi stimulus dalam menurunkan ongkos logistik
massal di segmen antarpulau atau ekspor-impor belum tersentuh.
Diskon tarif
listrik sebesar 50 persen juga hanya diberikan kepada rumah tangga dengan daya
hingga 1300 VA. Sektor industri logistik dan manufaktur tidak menjadi bagian
dari kebijakan ini. Padahal, sektor tersebut sangat
membutuhkan insentif energi, terutama untuk mendukung operasional pergudangan
berteknologi tinggi, transportasi rantai dingin (cold chain), serta sistem
digital berbasis cloud dan IoT.
Momentum Digitalisasi dan Risiko Ketergantungan
Meski fokus
stimulus belum sepenuhnya menyasar pelaku industri, tetap ada ruang untuk
membaca potensi transformasi. Diskon biaya hidup dan transportasi dapat
meningkatkan margin pelaku usaha yang pada gilirannya dapat dialihkan untuk
investasi teknologi. Studi McKinsey Global Institute (2024) menyebutkan bahwa
digitalisasi logistik mampu memangkas biaya operasional hingga 20 persen dan
mempercepat pengiriman sebesar 30 persen. Sejalan dengan hal itu, subsidi
fiskal berpeluang menjadi pemicu percepatan modernisasi supply chain.
Namun, perlu
diingat bahwa stimulus fiskal bersifat temporer. Ketergantungan jangka panjang
terhadap subsidi tanpa reformasi struktural justru dapat menghambat inovasi.
Studi Bank Dunia (2023) memperingatkan bahwa negara
yang terlalu lama menggantungkan efisiensi ekonomi pada subsidi akan kehilangan
dorongan untuk adaptasi dan kompetensi jangka panjang.
Oleh karena itu,
stimulus harus diikuti dengan langkah-langkah strategis lainnya seperti reformasi perizinan logistik, integrasi data lintas
instansi, insentif investasi logistik hijau, serta peningkatan kompetensi SDM
sektor logistik melalui pendidikan vokasi dan pelatihan digital.
Antara Peluang dan Ketertinggalan
Ketika supply chain
global mengalami reorientasi pasca-pandemi dan tensi geopolitik meningkat,
Indonesia seharusnya memanfaatkan momentum ini untuk mengambil peran strategis
sebagai hub logistik regional. Letak geografis Indonesia yang berada di jalur
perdagangan dunia adalah keunggulan natural yang tak dimiliki banyak negara.
Namun, tanpa dukungan infrastruktur logistik yang
efisien dan kebijakan fiskal yang mendukung sektor strategis ini, potensi
tersebut akan menjadi peluang yang terbuang.
Apalagi, jika
rencana tarif impor dari Amerika Serikat terealisasi, maka ketahanan logistik
dalam negeri akan menjadi benteng utama dalam menjaga kelangsungan industri
nasional, terutama sektor otomotif, makanan dan minuman, serta elektronik yang
selama ini sangat bergantung pada komponen impor.
Menguatkan Sinergi, Melampaui Stimulus
Stimulus ekonomi
seharusnya dipandang sebagai batu loncatan menuju ekosistem logistik yang lebih
efisien, terintegrasi, dan tahan guncangan. Untuk mencapainya, perlu adanya sinergi kebijakan antar-kementerian yang
tidak bersifat sektoral atau populis jangka pendek, melainkan terarah pada
perbaikan sistemik: mulai dari regulasi, digitalisasi, hingga ekosistem
industri pendukungnya.
Kolaborasi antara
pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha logistik, dan lembaga
pendidikan menjadi kunci keberhasilan jangka panjang. Tanpa itu, stimulus hanya akan menjadi tambalan sementara, bukan
fondasi ketahanan logistik nasional.
Penutup
Enam stimulus
ekonomi yang diluncurkan pemerintah memang layak diapresiasi sebagai upaya
menjaga konsumsi dan menahan perlambatan ekonomi domestik. Namun, jika dilihat
dari perspektif ketahanan logistik dan daya saing industri, kebijakan ini masih
memerlukan penyempurnaan.
Pertanyaan
strategis yang patut direnungkan bersama adalah: apakah
stimulus ini hanya akan menjadi respons sesaat, atau dapat dikembangkan menjadi
titik awal penguatan fundamental logistik nasional? Jawaban atas
pertanyaan tersebut akan menentukan apakah Indonesia akan menjadi pusat
logistik regional yang disegani, atau justru terus tertinggal dalam dinamika
perdagangan global yang semakin kompetitif.
"LET'S JOIN ULBI"
Informasi lebih lanjut mengenai program studi
unggulan di ULBI dapat dilihat langsung melalui situs resminya di www.ulbi.ac.id.
Learn more by visiting :
Magister
Manajemen Logistik:
https://admission.ulbi.ac.id/s2-magister-manajemen-logistik/
#Stimulus Ekonomi; #Logistik Indonesia; #Supply Chain; #Digitalisasi Logistik; #Daya Saing Industri; #Ketahanan Ekonomi; #ULBIAcademia; #PenaAkademikULBI; #EdukasiULBI; #OpiniAkademik; #ArtikelAkademik; #SEO; #DigitalMarketing
Posting Komentar