SAAT DUA GAJAH BAIKAN SOAL TARIF: APA KABAR INDUSTRI DAN SUPPLY CHAIN INDONESIA?

 


Oleh : 

Prof. Dr. Ir. Agus Purnomo, M.T., CMILT.
(Guru Besar Supply Chain Management - Master of Logistics Management Department – Universitas Logistik Dan Bisnis Intenasional – ULBI)

Siapa sangka, di tengah ketegangan yang nyaris tak berujung, kabar damai justru datang pada medio Mei 2025: dua raksasa ekonomi dunia—Amerika Serikat dan China—akhirnya sepakat memangkas tarif impor yang sebelumnya melonjak hingga 145 persen, sebagai bagian dari kesepakatan gencatan dagang selama 90 hari.

Tapi, benarkah ini pertanda bahwa badai sudah berlalu? “Trade wars are good, and easy to win,” ujar Donald Trump pada 2018, namun kenyataannya justru sebaliknya—perang dagang AS–China telah mengguncang supply chain global, memicu krisis logistik, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.  APEC bahkan memperkirakan pertumbuhan kawasan Asia-Pasifik hanya mencapai 2,6% pada 2025, turun dari 3,5% tahun sebelumnya. Pertanyaannya kini: apakah Indonesia hanya akan jadi penonton yang terdampak atau justru mampu memanfaatkan momentum ini untuk membenahi ketergantungan logistik, memperkuat daya saing, dan meraih peluang baru di tengah ketidakpastian global?

Satu Sumber, Banyak Risiko

Meskipun dunia sedikit bernapas lega dengan kesepakatan dagang antara AS -  China, risiko bagi negara seperti Indonesia belum sepenuhnya sirna—terutama karena ketergantungan tinggi pada impor bahan baku dari Tiongkok. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2024, nilai impor Indonesia dari China mencapai USD 72,73 miliar, menyumbang 31,13% dari total impor nasional. Sebagian besar impor ini berupa bahan baku dan barang penolong, yang secara keseluruhan mencapai USD 169,68 miliar atau sekitar 72,63% dari total impor Indonesia. Artinya, gangguan kecil di pelabuhan Shanghai atau perubahan kebijakan ekspor di Beijing dapat langsung memengaruhi operasional pabrik-pabrik di Cikarang, Batam, hingga Surabaya. Contohnya, pada awal tahun ini, beberapa perusahaan tekstil di Bandung mengalami penurunan pesanan dan kesulitan produksi akibat keterlambatan pasokan bahan baku dari China, yang menyebabkan kerugian signifikan.

Dalam sistem ekonomi global yang saling terhubung, keputusan tarif antarnegara besar bukan hanya urusan mereka, tetapi juga jadi masalah logistik nyata bagi negara-negara berkembang. Indonesia harus sadar: selama kita masih bergantung pada satu sumber utama pasokan, kita hanya akan menjadi korban dari pusaran konflik yang bahkan bukan kita yang mulai.

Relokasi Datang, Siapkah Kita?

Namun, di balik risiko tersebut, tersimpan peluang besar—asal Indonesia bisa bergerak cepat dan cerdas. Ketegangan antara AS dan China telah mendorong banyak perusahaan global untuk mempertimbangkan relokasi industri dari Tiongkok ke negara lain yang dinilai lebih stabil dan strategis. Indonesia masuk dalam radar ini, dan ini bukan isapan jempol. Sejak semester II-2024, Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB) telah menandatangani perjanjian pemanfaatan lahan industri seluas 162,2 hektare dengan tujuh tenant industri asal China. Pemerintah melalui Lembaga Pengelola Investasi (LPI) dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga aktif menawarkan kawasan industri seperti Batang dan Subang sebagai rumah baru bagi investor asing.

Jika dikelola dengan serius, relokasi ini bisa menjadi pintu masuk bagi Indonesia untuk naik kelas: dari sekadar pasar konsumtif menjadi simpul penting dalam supply chain global. Tentu, tantangannya besar—mulai dari kesiapan infrastruktur logistik, kualitas tenaga kerja, hingga efisiensi birokrasi. Namun, langkah seperti pengembangan ekosistem digital logistik melalui program National Logistics Ecosystem (NLE), yang hingga saat ini telah diterapkan pada 14 pelabuhan dan akan diperluas ke 34 pelabuhan serta 12 bandara, menunjukkan bahwa arah kebijakan mulai mengarah ke sana. Beberapa kalangan mungkin pesimistis, menyebut relokasi industri hanya mimpi besar yang belum berpijak pada realitas. Tapi justru di sinilah letak tantangannya: mau terus jadi penonton atau bersiap jadi pemain utama?

 

Peluang Emas Di Tengah Gejolak

 

Momentum ini bukan datang setiap hari. Gencatan perang tarif antara dua negara adidaya bukan sekadar urusan diplomasi dagang, tapi sinyal kuat bahwa lanskap perdagangan global sedang bergeser, dan Indonesia harus bersiap menyesuaikan diri. Kita tidak bisa lagi bergantung pada kebetulan atau berharap situasi eksternal akan selalu menguntungkan. Di tengah ketidakpastian ini, kecepatan dan ketegasan dalam mengambil kebijakan menjadi penentu apakah Indonesia bisa keluar sebagai negara tangguh atau hanya jadi korban pasif geopolitik.

 

Dunia sedang menata ulang supply chain global, dan pertanyaannya bukan lagi “siapa paling besar,” tapi “siapa paling gesit.” Maka, kita perlu memperkuat konektivitas logistik antarpulau, mempercepat integrasi sistem digital, dan mendorong sinergi sektor publik-swasta. Pemerintah tak bisa bekerja sendiri—dunia usaha, akademisi, hingga generasi muda harus dilibatkan dalam ekosistem logistik dan industri yang adaptif dan visioner.

  

Penutup: Rebut Panggung, Jangan Menepi


Kini saatnya Indonesia berhenti hanya bereaksi terhadap krisis global, dan mulai membangun daya tahan dari dalam. Perang tarif mungkin akan reda, tapi ketegangan geopolitik dan perubahan peta supply chain dunia akan terus berulang dalam berbagai bentuk. Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah kita siap menghadapi tantangan, melainkan apakah kita cukup berani untuk menciptakan perubahan.

Indonesia punya peluang emas untuk menjadi simpul logistik strategis di kawasan, asal berani keluar dari zona nyaman dan mengeksekusi kebijakan dengan cepat, terukur, dan inklusif. Seperti kata pakar ekonomi dunia Paul Krugman, Productivity isn’t everything, but in the long run it is almost everything.” Maka mari kita dorong produktivitas, inovasi, dan kolaborasi lintas sektor sebagai fondasi masa depan ekonomi yang tangguh. Jangan sampai saat dunia berubah arah, kita justru tertinggal di persimpangan.

"LET'S JOIN ULBI"

Informasi lebih lanjut mengenai program studi unggulan di ULBI dapat dilihat langsung melalui situs resminya di www.ulbi.ac.id.  

Learn more by visiting : 

https://admission.ulbi.ac.id/    


 #Perang tarif; #Supply chain; #Logistics; #Trump; #Xi Jinping; #ULBIAcademia; #PenaAkademikULBI; #EdukasiULBI; #OpiniAkademik; #ArtikelAkademik; #SEO; #DigitalMarketing

© ‧ Universitas Logistik dan Bisnis Internasional (ULBI). All rights reserved.

Template Blogger Indonesia