TKDN 2.0: BUKAN MUNDUR, TAPI MANUVER MENUJU SUPPLY CHAIN YANG TANGGUH
Prof. Dr. Ir. Agus Purnomo, M.T., CMILT.
(Guru Besar Supply Chain Management - Master of Logistics Management Department - Universitas Logistik Dan Bisnis Internasional - ULBI)
"A country that closes its doors to international trade,
closes its future." Kutipan ekonom
peraih Nobel, Paul Krugman,
ini terasa makin relevan ketika Indonesia menghadapi tekanan dari Amerika
Serikat terkait kebijakan Tingkat Komponen
Dalam Negeri (TKDN)—suatu ketentuan yang mewajibkan penggunaan
barang dan jasa produksi dalam negeri dalam kegiatan industri di Indonesia.
Pada April 2025, AS resmi memberlakukan tarif sebesar 32% terhadap sejumlah produk Indonesia—langkah
keras yang memprotes kebijakan TKDN yang dinilai diskriminatif terhadap produk
dan investor asing. Padahal, selama ini TKDN justru digadang-gadang sebagai
tameng untuk melindungi dan membangun industri lokal dari dominasi impor. Kini,
pemerintah Indonesia menunjukkan sinyal akan meninjau dan bahkan melonggarkan
kebijakan tersebut demi meredakan ketegangan dagang. Di tengah dunia yang
sedang membangun kembali supply chain global pasca-pandemi dan
gejolak geopolitik, langkah ini menuai banyak pertanyaan: Apakah pelonggaran TKDN justru membuka peluang baru bagi
dunia usaha, atau malah menimbulkan tantangan baru bagi industri dalam negeri? Bagaimana implikasinya terhadap supply chain resilience perusahaan-perusahaan
di Indonesia? Inilah momen penting untuk melihat ulang arah kebijakan
industri nasional di tengah tekanan global yang semakin kompleks dan tidak bisa
dihindari.
Namun, membuka pintu terlalu lebar juga bukan tanpa risiko. Di
balik niat baik pemerintah untuk meredakan ketegangan dengan Amerika Serikat
lewat pelonggaran TKDN, ada kekhawatiran serius dari dalam negeri. Berbagai
asosiasi industri, termasuk Gapensi, menyuarakan kegelisahan: tanpa proteksi yang
memadai, Indonesia bisa berubah menjadi "tempat pembuangan produk
asing" murah, terutama di sektor baja, alat berat, dan elektronik. Hal ini
bukan asumsi semata—data BPS 2024 menunjukkan bahwa 67%
industri manufaktur dalam negeri masih sangat bergantung pada permintaan
dari proyek-proyek pemerintah yang mensyaratkan TKDN minimum. Artinya, jika
kewajiban komponen lokal dilonggarkan tanpa skenario penguatan kapasitas
industri nasional, maka dampaknya bisa fatal: hilangnya pasar bagi produk
lokal, banjirnya produk impor, hingga ancaman PHK massal. Di
sisi lain, banyak pelaku UMKM dan industri kecil yang masih belum cukup siap
berkompetisi dengan produk luar yang lebih efisien dan murah. Jika tidak diantisipasi, pelonggaran TKDN justru bisa
mengganggu stabilitas supply chain nasional, memperlemah daya
saing, dan memukul ekosistem industri yang selama ini tumbuh dengan
perlindungan selektif.
Meski begitu, pelonggaran TKDN bukan berarti kekalahan—justru
bisa menjadi momentum strategis untuk memperkuat daya tahan supply
chain nasional, jika dikelola dengan cerdas dan terarah. Pemerintah
tidak harus memilih antara proteksi atau keterbukaan; yang dibutuhkan adalah
pendekatan seimbang: selective openness.
Ini yang dilakukan negara-negara seperti Vietnam dan Meksiko—mereka tetap
membuka akses pasar, tapi sambil memberikan insentif
kuat bagi investor asing yang
membangun pabrik lokal, transfer teknologi, hingga pelatihan tenaga kerja dalam
negeri. Indonesia pun mengarah ke sana dengan membentuk Tim Deregulasi Nasional dan mulai
menyusun skema insentif bagi perusahaan global yang bersedia menanamkan
investasinya dalam bentuk kolaborasi jangka panjang.
Di sinilah kunci membangun resilient supply chain: bukan
dengan menutup pintu, tapi dengan memastikan bahwa setiap investor asing ikut
memperkuat ekosistem lokal (Khanthavit, 2020). Kita bisa mendorong digitalisasi supply
chain, membangun pusat logistik regional, dan mempercepat
penggunaan sistem manufaktur berbasis teknologi (Chen & Wang, 2021). Dengan
begitu, pelonggaran TKDN tidak berarti menyerah pada tekanan, tetapi justru
menjadi jalan baru menuju ketangguhan
ekonomi nasional yang berbasis pada daya saing, bukan sekadar perlindungan.
TKDN,
KETAHANAN, DAN JALAN TENGAH
Penting
untuk disadari bahwa TKDN bukan sekadar instrumen teknis dalam kebijakan
industri—ia adalah simbol dari semangat kemandirian ekonomi Indonesia. Namun di
era globalisasi yang makin kompleks, kemandirian tak bisa diartikan sebagai
menutup diri sepenuhnya. Justru di tengah arus geopolitik dan tekanan
perdagangan global yang makin tak terduga, Indonesia perlu memiliki kebijakan
yang lentur namun tetap berpijak kuat pada
kepentingan nasional.
Pelonggaran TKDN bisa dibaca bukan sebagai kemunduran, melainkan sebagai upaya
bernegosiasi secara cerdas di panggung global—selama langkah ini diiringi
strategi untuk tetap memperkuat industri lokal dan tidak kehilangan arah. Di
sinilah urgensi tindakan pemerintah: jangan hanya
responsif terhadap tekanan eksternal, tetapi proaktif dalam menyiapkan
infrastruktur industri, digitalisasi supply chain, serta
kolaborasi yang sehat antara investor asing dan pelaku usaha dalam negeri.
Tanpa visi jangka panjang, pelonggaran ini hanya akan jadi langkah kompromi
yang merugikan.
Karena
itu, inilah saatnya bagi pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat luas untuk
berpikir lebih strategis dan bertindak
lebih progresif. Pelonggaran
TKDN harus menjadi bagian dari peta jalan yang lebih besar: membangun supply
chain nasional yang tidak hanya tangguh menghadapi krisis, tetapi juga adaptif
terhadap perubahan global. Pemerintah perlu memperjelas arah, menetapkan
sektor-sektor prioritas yang wajib dilindungi, dan secara paralel membuka ruang
inovasi, teknologi, dan investasi berkualitas. Dunia bisnis juga harus siap
berubah—tidak bisa lagi bergantung pada proteksi, melainkan harus membangun
efisiensi, transparansi, dan kolaborasi lintas batas. Di tengah arus global
yang penuh ketidakpastian, Indonesia tidak butuh kebijakan yang keras kepala
atau terlalu lentur, tapi kebijakan yang
cerdas dan lincah. Karena pada akhirnya, pertanyaannya bukan sekadar siapa yang membuka atau
menutup diri, melainkan: siapa yang paling siap menghadapi masa depan?
"LET'S JOIN ULBI"
Informasi lebih lanjut mengenai program studi
unggulan di ULBI dapat dilihat langsung melalui situs resminya di www.ulbi.ac.id.
Learn more by visiting :
https://admission.ulbi.ac.id/s2-magister-manajemen-logistik/
#TKDN; #Supply chain resilience; #Supply Chain; #UMKM; #Perang Tarif; #ULBIAcademia; #PenaAkademikULBI; #EdukasiULBI; #OpiniAkademik; #ArtikelAkademik; #SEO; #DigitalMarketing
Posting Komentar